Kamis, 10 November 2011

Warga Negara dan Negara

Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan politik tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara. Seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya.
Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan (bahasa Inggris: citizenship). Di dalam pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga kota atau warga kabupaten, karena keduanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi daerah, kewargaan ini menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan memberikan hak (biasanya sosial) yang berbeda-beda bagi warganya.
Kewarganegaraan memiliki kemiripan dengan kebangsaan (bahasa Inggris: nationality). Yang membedakan adalah hak-hak untuk aktif dalam perpolitikan. Ada kemungkinan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi anggota bangsa dari suatu negara.
Di bawah teori kontrak sosial, status kewarganegaraan memiliki implikasi hak dan kewajiban. Dalam filosofi "kewarganegaraan aktif", seorang warga negara disyaratkan untuk menyumbangkan kemampuannya bagi perbaikan komunitas melalui partisipasi ekonomi, layanan publik, kerja sukarela, dan berbagai kegiatan serupa untuk memperbaiki penghidupan masyarakatnya. Dari dasar pemikiran ini muncul mata pelajaran Kewarganegaraan (bahasa Inggris: Civics) yang diberikan di sekolah-sekolah.

Hak dan Kewajiban Warganegara dalam Islam

Pemimpin Negara Islam (atau Negara) berkewajiban untuk mendidik dan membimbing rakyat dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana ini menuju kehidupan akhirat yang kekal. Negara juga berkewajiban untuk menjaga kemaslahatan umum. Secara singkat kewajiban-kewajiban tersebut dapat diungkapkan dalam kalimat hirasat al-din wa siyasat al-dunya.
Pemimpin Negara merupakan penguasa tertinggi di negara tersebut. Kekuasaan tertinggi ini harus betul-betul dimanfaatkan untuk mencapai kebaikan bersama. Jika kekuasaan ini diselewengkan atau disia-siakan maka akan timbullah berbagai kerusakan. Betapa vitalnya posisi pemimpin negara sampai-sampai Nabi bersabda bahwa baik buruknya umat ditentukan oleh dua golongan : ‘umara (pemimpin) dan ulama.
Negara bertanggung jawab atas kemaslahatan kehidupan rakyatnya, baik dari sisi agama, sosial ekonomi, keamanan dan ketertiban, serta keadilan. Kalau kita mencermati Negara Ideal Madinah maka kita akan tercengang : betapa bertanggungjawabnya Negara atas rakyatnya !!! Sebuah contoh : ketika keuangan Madinah sudah cukup memadahi, Nabi selaku kepala negara menjamin hutang-hutang setiap warganya yang meninggal dunia dengan meninggalkan hutang.
Rakyat, sebagaimana Negara, juga mempunyai kewajiban-kewajiban. Secara umum kewajiban rakyat adalah taat kepada Negara selama tidak untuk bermaksiat kepada Allah. Diantara penyebab terjadinya berbagai tragedi pada masa kekhalifahan Ali ibn Abu Thalib adalah ketidaktaatan dan pembangkangan rakyat. Prahara tersebut hendaknya menjadi pelajaran bagi umat Islam sesudahnya.
Hal lain yang perlu dipahami ialah bahwa Islam senantiasa menekankan kepada setiap umatnya untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya. Apabila setiap pihak menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka hal itu akan berimplikasi pada terpenuhinya hak-hak setiap pihak. Apabila kewajiban-kewajiban ditunaikan maka hak-hak akan terpenuhi dengan sendirinya tanpa perlu dituntut. 

referensi : wikipedia, menara islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar